Monday, September 19, 2016

(Calon) Yang Tak Lazim di Pilkada DKI 2017 Menurut Jimly Asshiddiqie

Pilkada DKI Jakarta 2017 yang sudah semakin dekat membuat suhu politik di Ibukota semakin memanas oleh tingkah pola para calon gubernur yang akan bertarung. Masyarakat pun semakin dibuat penasaran dan dan harap-harap cemas serta penasaran.

Hal ini pun diamini oleh Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut Jimly,  hal ini dikarenakan ada bakal calon gubernur atau kepala daerah yang berbeda dibandingkan dengan bakal calon di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Jimly Asshiddiqie
Jimly Asshiddiqie (foto: Kompas)

"Ada calon yang tidak lazim. Tidak lazim dalam arti, tidak ikut idealitas yang sifatnya konvensional. Sehingga, kita bisa melihat nanti, apakah masyarakat Jakarta sudah sangat rasional untuk memilih atau masih dipengaruhi sifat-sifat primordial," kata Jimly saat menyampaikan sambutannya dalam acara launching pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat pada Minggu 18 September 2016 kemarin.

Saat dimintai keterangan lebih lanjut, Jimly enggan menjelaskan siapa calon yang tidak lazim itu. Namun, ia menyampaikan kata sambutan pada acara ini, Jimly menyebut nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan maju sebagai calon petahana dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

"Dari pengalaman pilkada di tempat-tempat lain, biasanya kalau ada petahana, selalu ada masalah prioritas aparat, tetapi kok di Jakarta ini ada Forum RT/RW yang anti-Ahok (sapaan Basuki)? Ini aneh sekali," tutur Jimly.

Oleh karena itu Jimly menekankan bahwa hal ini merupakan sebuah dinamika politik yang normal terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, sebuah daerah yang lebih majemuk dan heterogen dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, dan merupakan contoh yang baik bagi demokrasi di Indonesia.

Dari hal tersebut, Jimly mengatakan bahwa hal ini berarti demokrasi di Indonesia sudah berkembang jauh lebih baik daripada di negara lain, seperti di Eropa atau Amerika.

"Seperti wali kota muslim di London, itu butuh waktu lama. Di Amerika juga, kita tahu perspektif founding fathers di sana sangat Kristen Protestan. Kecuali, setelah dua abad, baru ada presiden yang dari luar perspektif itu, yakni John F Kennedy (Kennedy merupakan seorang Katolik-red)," kata Jimly.

"Butuh dua abad untuk keluar dari kelompok mainstream sehingga kita lihat bagaimana budaya politik di Indonesia makin lama makin rasional," tambahnya.

Namun walaupun dikatakan begitu, fakta di lapangan membuktikan bahwa masyarakat kita sebenarnya masih belum dewasa dalam berpikir dan berdemokrasi yang ditandai makin maraknya ujaran-ujaran kebencian yang banyak bertebaran di media sosial.

(dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment