Monday, October 17, 2016

MUI: Advokat (Pengacara) Wajib Mengantongi Sertifikat Halal

Akhir-akhir ini, Majelis Ulama Indonesia menjadi bahan pemberitaan karena "fatwa" mengenai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan nama sapaan beken Ahok. 

Nah, belum tuntas isu tersebut, sebuah pemberitaan lama mengenai MUI kembali mencuat di media sosial yang bersinggungan dengan profesi advokat atau pengacara.

Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah menyatakan bahwa jasa hukum yang diberikan oleh advokat atau konsultan hukum termasuk sebagai produk jasa yang wajib bersertifikat halal. 

Menurut Ikhsan, hal tersebut sejalan dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pernyataan Ikhsan memang belum bisa dikatakan sebagai sikap MUI secara resmi, karena di internal MUI masih terdapat silang pendapat.

Meskipun belum menjadi sikap resmi MUI, pernyataan Ikhsan langsung panen kritik dari kalangan advokat. 

Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kepengurusan Juniver Girsang, Hasanudin Nasution, sikap MUI ini dinilai sangat sembrono ketika menetapkan jasa hukum mesti bersertifikat halal. Dirinya pun tidak habis pikir dan geleng-geleng kepala saat membayangkan ketika jasa hukum yang diberikan advokat mesti diukur aspek halal atau tidak halalnya.

pengambilan sumpah advokat
Pengambilan sumpah advokat (foto: hukumonline.com)

“Menurut saya, MUI jangan sembrono juga menempatkan bahwa bisa mengukur jasa hukum. Bagaimana mengukur jasa advokat ketika berperkara di pengadilan lalu kemudian itu di-certified menjadi halal atau tidak halal? Kalau tidak halal, itu pasti bermasalah. Tapi kalau disebut halal, bagaimana juga dia mengukur halalnya?” katanya Rabu 30 Desember 2015..

Menurut Hasanudin, pnggunaan UU Jaminan Produk Halal sebagai dasar bagi pihak MUI juga dinilai tidak tepat. Karena undang-undang tersebut mengatur kewajiban suatu produk dan/atau jasa berupa makanan, minuman, obat, serta kosmetik yang diwajibkan untuk bersertifikat halal. Selain itu, produk dan jasa itu pun memiliki parameter serta alat ukur yang jelas dalam mengukur aspek kehalalannya.

Sedangkan jasa hukum yang diberikan advokat tidak semerta-merta bisa disamakan dengan produk dan jasa yang terkait barang untuk dikonsumsi. Apalagi, jasa hukum yang diberikan tidaklah memiliki parameter serta alat ukur yang sama ketika mengukur aspek halal atau tidaknya produk atau jasa untuk barang konsumsi.

“Apa alat ukur yang digunakan? Nanti akan ada protes dari advokat yang tidak diberikan sertifikat halal. Jadi jangan sembrono saya kira MUI yang melihat jasa hukum dipersamakan dengan produk lain,” katanya.

Menurutnya, parameter serta alat ukur satu-satunya yang bisa diukur dari jasa hukum yang diberikan seorang advokat hanyalah moralitas. Lagipula, lanjut Hasanudin, baik atau buruknya moralitas yang terkandung dalam jasa hukum yang diberikan juga tidak terlihat secara kasat mata.

“Komponen advokat yang bisa diukur hanyalah moral doang. Jadi moral itu baik atau tidak, ngga kelihatan juga di produk yang diberikan. Misalnya advokat kasih gugatan atau bantahan, bagaimana kita mengukurnya,” katanya.

Ia menyayangkan sikap MUI yang seolah-olah ‘mengobok-obok’ profesi hukum yang menyebutkan kalau jasa hukum yang dilakukan advokat mesti bersertifikat. Menurut Hasanudin, MUI masih punya segudang hal yang mesti diteliti terkait dengan kehalalan suatu produk konsumsi yang beredar di Indonesia.

“Saya menyayangkan sikap MUI yang menurut saya sangat tidak cerdas. Dan ini bisa memicu konflik yang berkepanjangan dikalangan profesi selain advokat,” tutupnya.

Turut mengkritik, Partner pada kantor SMART Legal Consulting BP Lawyers Counselors at Law, Bimo Prasetio menjelaskan bahwa definisi ‘Produk’ dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal tidak termasuk jasa hukum. Jika tetap dipaksakan jasa hukum diwajibkan bersertifikat halal, dia khawatir dalam pelaksanaannya akan ada kendala teknis, terutama dalam pemenuhan persyaratannya.

“Belum lagi, adanya kewajiban pencantuman sertifikasi halal pada produk. Apakah maksudnya seperti pencantuman label ISO di website, kartu nama atau media yang dimiliki oleh suatu kantor hukum,” tambah Bimo.

Lagipula, lanjut Bimo, peraturan pelaksana dari amanat UU Jaminan Produk Halal serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga belum terbentuk. Atas hal itu, ia menilai pernyataan MUI itu sangat prematur. “Hingga saat ini pun BPJPH belum ada. Dan PP terkait tipe produk halal belum diterbitkan. Sehingga sangat prematur sekali kalau disampaikan adanya kewajiban sertifikasi halal bagi advokat,” tukasnya.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang juga menjabat sebagai Ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, kalau undang-undang ini hanya difokuskan untuk produk yang dikonsumsi seperti makanan, minuman, serta barang gunaan lainnya. “Tapi setahu saya, yang lebih kita fokuskan itu terlebih dahulu adalah yang makanan, minuman, kosmetik, obat, dan produk gunaan lainnya. Jadi fokus utamanya jadi kita di situ dulu,” katanya melalui sambungan telpon.

Ia masih ingat, fokus pembahasan saat perancangan undang-undang ini tidak sampai ke konteks jasa hukum atau jasa-jasa lainnya. Meski begitu, soal jasa sempat dibahas juga. Namun, jasa yang dibahas dalam Panja hanyalah jasa yang berkaitan dan berhubungan langsung dengan barang yang dikonsumsi.

“Jadi kalau kemarin itu kita tidak sampai detail itu konteksnya ke jasa hukum dan seterusnya ya. Sepanjang ingatan saya, kemarin itu kita bahas diantaranya seperti restoran. Restoran itukan jasa, ketika restoran mau dinyatakan restoran halal maka the whole component di situ harus halal,” tutur Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Selain itu, ia juga mengatakan kalau sebetulnya dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal jelas dinyatakan kalau yang diwajibkan bersertifikat halal adalah produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia. Atas dasar itu, yang menjadi fokus sebetulnya bukan jasa melainkan produk.


“Di Pasal 4 disebutkan semua barang (produk) yang beredar di Indonesia. Dan bukan jasa. Jadi fokusnya pada tahap ini kita mencoba untuk barang-barang gunaan termasuk didahulukan karena terkait dengan konsumsi. Maka yang didahulukan itunya (konsumsi yang berkaitan dengan ibadah yang diterima atau tidak, red) dulu,” tandasnya

Bagaimana menurut Anda?
(hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment