Monday, November 28, 2016

Siapa Yang Menjadi Bodoh Gara-gara Pilkada DKI 2017?

Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, suhu politik pun semakin panas. Terlebih lagi saat Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituduh melakukan penistaan agama Islam dengan mengutip isi Surat Al Maidah.

Kasus penistaan agama serta makin panasnya suhu politik ini, sedikit banyak membuat publik melupakan kasus lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang ”katanya” menjerat Ahok.

Pasangan calon Pilkada DKI 2017
Para pasangan calon Gubernur yang akan bertarung dalam Pilkada DKI 2017 

“Jangan pilih saya kalau saya memang salah”, itulah ucapan Ahok saat itu kepada wartawan ketika ditanya tentang kasus lahan rumah sakit tersebut. Saat sekitar bulan April 2016, Ahok mengatakan akan maju lagi dalam Pilkada Gubernur DKI mendatang lewat jalur independen.

Menjelang pilkada banyak orang saling sikut, saling menyudutkan. Banyak orang baik dihadang dengan segala cara. Lihat saja Jokowi saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI dan Presiden RI, banyak tingkah lawan yang ingin mematikan.

Dalam pemilihan kepala daerah yang paling mudah dilibas adalah calon independen karena tidak punya partai, dukungannya hanya dari pemilih murni. Meski demikian jauh-jauh hari Ahok sudah mendapat dukungan banyak pihak, terbukti tim sukses “Teman Ahok” sudah bisa mengumpulkan tanda tangan lebih dari yang dibutuhkan.

Tapi apa yang terjadi? Formulir dukungan diubah karena harus menyebutkan siapa calon wakil gubernur pasangannya sehingga “Teman Ahok” harus secepatnya mengundang para pendukung untuk mengisi formulir baru. Setelah ini selesai muncul lagi persyaratan baru, formulir harus memakai meterai. Bayangkan formulir-formulir yang sudah terkumpul tak bisa dipakai sehingga harus dibuat yang baru.

Syarat yang terkesan “dibuat-buat” tersebut dianulir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun tak lama kemudian muncul lagi syarat yang amat berat dimana calon perseorangan harus bisa mengumpulkan dukungan minimal 10-15 persen dari jumlah penduduk. Sebelumnya hanya 6,5 persen dari jumlah pemilih, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 29 September 2015.

Jadi putusan itu baru akan digunakan sekarang tapi sudah mau diubah lagi. Ini tertuang dalam rancangan revisi UU Pilkada yang kini dibahas DPR. Lantas apa bedanya dengan akal-akalan pembentukan Undang Undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) dari Koalisi Merah Putih untuk menjegal PDIP di Parlemen? Sekarang PDIP ikut malah mereka.

Seandainya ini lolos bukan hanya Ahok korbannya tapi seluruh calon independen akan mengalami hal serupa. Indonesia akan kehilangan calon-calon pemimpin terbaik. Alangkah bodohnya kalau hanya untuk menghadang Ahok seluruh calon perseoragan jadi korban.

Nah, jadi “bola panas” pun ada di tangan Presiden Joko Widodo. Sampai saat ini dia menolak usulan DPR dan minta syarat itu tetap sesuai putsan MK.

Namun, upaya menjegal Ahok bukan hanya sampai disitu saja. Kasus pembelian sebagian tanah Rumah Sakit Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta kini menjadi senjata lawan-lawannya untuk menjatuhkannya.

Awal mula masalahnya adalah tanah RS Sumber Waras dibeli dengan harga Rp 755 miliar sesuai dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Rp 20 juta per meter. Luasnya 36.441 meter persegi, lokasinya di Jalan Kyai Tapa.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpendapat lokasi tanah ada di Jalan Tomang Utara yang NJOP nya Rp 7 juta/meter sehingga ada kerugian negara Rp 191 miliar. Ketua BPK Harry Azhar Azis mengumpamakan, Pemprov DKI ibarat membeli mobil harga mercy dapatnya cuma bajai. DPRD DKI pun melaporkannya ke KPK.

Namun, menurut pemilik RS Sumber Waras, tanah itu ada di Jalan Kyai Tapa sesuai PBB yang dibayarnya setiap tahun, jadi tak ada yang salah.

Kasus lain yang lagi menelikung Ahok adalah soal reklamasi Teluk Jakarta. Sejumlah perusahaan sudah mendapat izin, reklamasi sudah berjalan. Tiba-tiba kini semua berubah.

Masalahnya bermuka ketika DPRD membahas rancangan Peraturan Daerah tentang reklamasi, tapi di tengah pembahasan Ketua Komisi B DPRD DKI Ir Muhammad Sanusi (Fraksi Gerindra) tertangkap KPK karena menerima suap dari sebuah perusahaan yang akan melakukan reklamasi. Kini pembahasan dihentikan dan nasib reklamasi masih karut marut hingga kini.

Padahal saat itu, pembahasan sebenarnya hampir selesai, tinggal soal kompensasi saja yang belum sepakat dimana Ahok meminta perusahaan untuk memberi kompensasi sebesar 15% untuk pemprov yang akan dikembalikan untuk upaya program pembangunan masyarakat, sedangkan DPRD hanya mau 5%. Dari sini saja orang awam pun sudah heran, ada apa dengan DPRD?

Akhirnya, masalah reklamasi ini menjadi melebar ke isu-isu lain. Akibatnya beberapa menteri menjadi marah dan Pemerintah DKI dituding melakukan pelanggaran karena tidak melalui analisa dampak lingkungan, mematikan usaha nelayan dan lain sebagainya.

Padahal reklamasi Teluk Jakarta berdasarkan pada Keppres No 52 tahun 1995 sudah lama berjalan atau sejak masa Orde Baru. Namun entah kenapa baru sekarang masalah ini diributkan. Ujung-ujungnya Presiden menghentikan reklamasi sambil membenahi peraturannya.

Dari sini kita bisa melihat secara jelas bahwa kepentingan politik telah merecoki ini semua. Partai mana yang tak ingin menguasai DKI yang amat prestise, apalagi APBD nya paling fantastis dibandingkan daerah-daerah lain.

Apabila ingin menilai secara jujur, kita sebenarnya bisa melihat bahwa Ahok tidak hebat-hebat amat, bicaranya pun sering tidak terkontrol. Namun Ahok merupakan orang yang tegas, berani, jujur dan terbuka. Makanya, ia menantang rakyat agar tidak memilihnya kalau memang terbukti bersalah. Apakah betul begitu, KPK sudah membuktikan bahwa Ahok tidak bersalah dalam kasus Sumber Waras ini.

Masalah satu selesai, timbullah masalah lain yang menjerat Ahok. Secara kasat mata kita pun melihat bahwa upaya lawan-lawan politik Ahok amat sistematis untuk menjatuhkannya. Terakhir kali adalah kasus video “fitnah” yang ditenggarai disebarkan oleh seseorang berinisial BY yang menyebabkan timbulnya demonstrasi besar yang berujung ricuh pada 4 November 2016 lalu.

Kalau membaca media sosial yang nyaris tanpa sensor terlihat, rakyat memang semakin dibuat tidak beradab oleh para elite politik. “Perang Saudara” pun pecah di media sosial. Hujatan, cacian, postingan yang menebar kebencian berseliweran tanpa ada yang memantau.


Kalau begini, rakyat Indonesia pun menjadi pelanduk gara-gara Pilkada Jakarta karena mereka menjadi terprovokasi dan terpecah belah sehingga bisa menyebabkan potensi bubarnya NKRI. Jadi siapa yang bodoh, rakyat atau para elite politik?

Saya akan merasa sedih apabila NKRI yang ikut diperjuangkan dengan senjata oleh alm. Ayah dan Eyang saya, bubar. Sudah saatnya kita sedikit menjadi lebih cerdas agar bisa menjadi bangsa yang besar dan maju.

No comments:

Post a Comment