Tuesday, December 6, 2016

Mengupas Isu dan Fakta: "Ahok Itu Seorang Pemimpin Atau Pelayan Sih?"

Kisruh politik yang merembet ke masalah SARA terkait ucapan dan pernyataan Gubernur DKI Jakarta (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu terkait Al Quran Surat Al Maidah 51 yang dipelintir oleh Buni Yani nampaknya sudah melampaui batas kewajaran.

Disebut melampaui batas karena postingan Buni Yani tersebut berimbas pada bahayanya keguyuban di masyarakat dan berpotensi memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ekses postingan Buni Yani pun berakibat mobilisasi ribuan dan (konon) jutaan massa ke Jakarta untuk aksi bela Islam dan bela Quran.

Para tokoh (yang merasa dirinya) ulama pun lantas menyuarakan dakwah bahwa intinya "dalam Islam dilarang memilih pemimpin kafir dan non muslim".

Saya sebagai seorang nasionalis mencoba merenung dan menanyakan kesana-sini mulai dari golongan akademisi hingga lintas agama. Mulai dari yang "netral" hingga yang "berat sebelah". Nah, disini saya mencoba "merangkum" semua pendapat mereka.

Sekali lagi, ini hanyalah sebuah pendapat yang hanya mencoba obyektif dan jujur.

Apakah Ahok itu merupakan seorang pemimpin? Apakah Ahok itu merupakan seorang pelayan? Mari kita bahas disini.

Pada dasarnya, "pemimpin" itu mempunyai ruang lingkup yang lebih kecil. Pemimpin itu "agak mirip-mirip" dengan "administratur yaitu mengatur segala sesuatu agar tercapai tujuan kelompok. Ditambah lagi, karena "ruang lingkup" nya kecil, maka kita juga harus membicarakan "homogenitas" disini.

Misalnya, pemimpin perusahaan. Pemimpin ini memimpin "anak buah"-nya. Anak buah bekerja bersama untuk si pemimpin. Dan dalam kasus ini, pemimpin TIDAK BEKERJA untuk anak buahnya. Kalau ada anak buah yang mengeluh, sang pemimpin tidak akan mau mendengarkan keluhannya. Karena itu bukan urusannya?

Bagaimana dengan kapten kesebelasan sepakbola? Ambil contoh Boaz Solossa yang kebetulan beragma Nasrani, Kapten klub Persipura Jayapura sekaligus tim nasional sepakbola Indonesia.

Dalam lingkup tim Persipura, ia adalah pemimpin kawan-kawannya di lapangan hijau. Namun dalam lingkup Papua, ia adalah pelayan masyarakat Papua? Mengapa? Karena kalau membicarakan lingkup Papua, Boaz dan kawan-kawannya "melayani" ego masyarakat Papua agar daerahnya unggul dari daerah lain dalam prestasi sepakbola. Bagaimanapun caranya, Boaz harus bisa membawa Persipura juara agar mengharumkan dan membuat bangga Papua. Dia adalah pelayan bagi ego orang Papua. Begitu juga dengan kapten-kapten kesebelasan klub lain.

Bagaimana kalau membicarakan lingkup yang lebih luas? Yaitu tim nasional sepakbola Indonesia? Boaz bukanlah imam/pemimpin para kapten-kapten klub. Ia hanya mengorganisasi (pekerjaan administratur di lapangan) bagi kawan-kawannya di atas lapangan untuk melayani dan memuaskan ego seluruh rakyat Indonesia agar tim nasional bisa berjaya dengan seluruh tenaga yang ia berikan?

Kenapa Boaz disebut pelayan disini? Coba pikirkan, Anda yang sering teriak "Ganyang Malaysia!!", "Hantam Thailand!!!", "Gilas Vietnam", atau nanti apabila tim kita bertemu kesebelasan Myanmar kita berteriak "Bantai para pembantai Rohingya", bisakah melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh Boaz dan kawan-kawannya? Bisakah Anda yang suka teriak yang bermain saja di lapangan melawan "musuh-musuh" tersebut? Kalau Anda main dan kalah telak bagaimana? Bukankah para pemain seperti Boaz dan kawan-kawannya merupakan orang pertama yang harus menanggung beban dan rasa malu apabila kalah? Sanggupkah Anda memikul beban berat dan rasa malu seperti mereka?

Atau ada contoh lain, kebetulan di lingkungan saya.

Ketua RT itu pemimpin atau pelayan sih? Para warga ngga ada yang bekerja untuk ketua RT kan? Ketua RT hanyalah "administratur" bagi warganya yang heterogen. Dia juga merupakan pelayan bagi warganya yang heterogen.

Ketua RT saya ini amatlah merupakan seorang "pelayan" dan bukannya pemimpin. Saat ada warga miskin yang rumahnya terancam ambruk, beliau menghadap kelurahan membawa proposal untuk perbaikan rumah warga ini. Dan proposal tersebut tembus sehingga rumah warga miskin ini bisa direnovasi.

Kebetulan di RT ini, bendaharanya adalah seorang ibu beragama Nasrani. Sebelum perbendaharaan keuangan RT dipegang oleh ibu ini (dipegang oleh seorang ibu yang berpakaian rohani sesuai ajaran agamanya), keuangan warga selalu tidak jelas rimbanya dan tidak akuntabel. Ditangan ibu ini, keuangan RT seslalu transparan. Dan juga tidak ada lagi warga yang begitu mudah berhutang uang RT dan kabur atau tidak bayar dengan alasan segala macam.

Contoh lain lagi adalah ketua kelas. Sekali lagi, konon ketua itu berarti pemimpin. Benarkah demikian?
Kebetulan saya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Kelas saat kelas 3 SMA. Apabila sang Ketua Kelas berhalangan, maka sayalah yang bertanggung jawab. Dan kebetulan atau bukan, ketua kelas saya ini sering berhalangan.

Tahukah Anda? Walau jabatan saya (Wakil) Ketua Kelas, sejatinya saya adalah pelayan kawan-kawan sekelas. Saya sering harus menjadi "bemper" bagi kawan-kawan sekelas apabila mereka bermasalah dengan sesama mereka dan guru. Saya akan membela kawan saya secara proporsional. Karena saya (Wakil) Ketua Kelas, saya sering "diperbudak" untuk mengambil spidol, penghapus papan tulis atau bahkan mengantarkan tugas kawan-kawan ke meja guru di ruang guru. Yang seperti ini pemimpin atau pelayan?

Kalau tokoh seperti misalnya Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Aa Gym dan ulama lain, mereka adalah pemimpin. Jadi tidak mungkinlah Muhammadiyah dipimpin oleh bukan mereka yang berasal dari kalangan Muhammadiyah. Tidak mungkin jugalah PDIP dipimpin oleh orang yang bukan kader PDIP, dan tidak mungkin pula pemimpin muslim seperti Aa Gym digantikan oleh pemimpin yang non muslim.

Sempat terlontar dalam diskusi di sebuah warung Indomie (ternyata dari sekelas warung sempit di pojokan jalan ini juga ada suara-suara kritis dan objektif), apakah para "pemimpin" tersebut "bekerja untuk kita semua"?. "Kita semua" yang dimaksud disini adalah semua orang dan masyarakat tanpa memandang SARA?

Bagaimana dengan Ahok?

Di kalangan PNS DKI Jakarta, ia adalah bos mereka. Tapi kita harus ketahui, para PNS ini kitalah yang menggaji melalui segala macam pajak dan pungutan (bukan pungli) yang kita bayar. Ahok, serta para pejabat lain hingga Presiden adalah pelayan masyarakat dan bukannya pemimpin. Karena mereka merupakan administratur atau pengatur agar semua orang yang ada di negara ini bisa kebagian sama rata. Tanpa ada mereka yang kita "gaji" sebagai administratur, negara kita ini akan kacau dan tidak bisa berjalan.

Semenjak ada Ahok, tidak ada lagi PNS yang "sekenanya" saja seperti zaman dahulu.

Tanpa adanya para administratur ini, akan ada praktek seperti zaman koboi. Siapapun akan sesukanya tanpa ada aturan main.

Satu lagi, saat ini sedang ada "kisruh APBD DKI" dimana Pelaksana Tugas Gubernur DKI menaikkan besaran anggaran DKI Jakarta 2017 dari 68,76 Trilyun menjadi 70,29 Trilyun. Menurut Soni, penambahan anggaran ini salah satunya karena ada kegiatan yang diusulkan sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta masuk ke mata anggaran di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2017 DKI Jakarta. "Mereka (anggota DPRD) teman sebelah kami, kata Soni seperti yang diwartakan Tempo pada Senin 5 Desember 2016.

Maling Anggaran DKI
Kisruh APBD DKI Jakarta 2017 (sumber: Temp)

Sebelumnya, alasan Ahok menolak cuti kampanye adalah agar dirinya bisa mengawal penyusunan APBD 2017. Ahok sangat kecewa karena waktu pembahasan APBD bertepatan dengan masa kampanye. Ditambah lagi ia terpaksa harus cuti, maka ia TIDA BISA DAN TIDAK BOLEH berurusan dengan penyusunan dan pengawasan APBD.

Dan sekarang, saat Ahok sedang cuti, pelayanan aparat DKI pun kembali amburadul.

Selanjutnya, silahkan Anda ambil kesimpulan sendiri. Ahok itu pemimpin atau pelayan Anda? Selamat berpikir dengan pikiran dan hati yang sejuk. Tidak perlu memakai caci maki.

No comments:

Post a Comment